— Seiring dengan tren rokok elektrik, jumlah perokok elektrik di Indonesia pun terus bertambah setiap tahunnya. Seperti melihat dari data dari Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas) tahun 2018, dibandingkan 2016 kenaikan penggunaan rokok elektrik pada rentang usia 10 sampai 18 mencapai 0,7 persen menjadi 2,7 persen. Dampak dari rokok elektrik pun sudah terbukti tidak kalah berbahaya dibandingkan rokok konvensional karena sama sama mengandung nikotin yang bisa menyebabkan penyakit terkait saluran pernapasan.
Untuk mengurangi laju pertumbuhan perokok elektrik karena bahaya efek negatifnya Kementerian Kesehatan menyebutkan perlu adanya kerjasama antar kementerian dan lembaga. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Arianie menyebutkan misalnya penting juga penanganan dari segi distribusinya. ”Penyakit tidak menular karena rokok ini, ada vektor yang terkait ranah nasional industri, kemudian nasional industri politik juga ada disana,” kata Cut.
”Kita harapkan aspek lain yang juga ikut mendukung, sehingga semakin sempit untuk faktor risiko,” sambung dr. Cut saat ditemui di Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2020). Kemudian sesuai sektor yang ditangani Kementerian Kesehatan salah satu fokus dalam mengurangi jumlah perokok adalah adanya kawasan bebas rokok. “Kami meminta kawasan rokok di 7 tatanan di fasilitas kesehatan, tempat ibadah, tempat belajar, tempat bermain anak, angkutan umum, fasilitas umum, dan tempat kerja,” kata dr. Cut.
Staf khusus Menteri Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan, Brigjen TNI dr. Alexander K. Ginting menyebutkan peningkatan selama dua tahun ini karena iming iming rokok elektrik yang lebih rendah efek negatifnya dibandingkan rokok konvensional. “Katanya rokok elektrik lebih ringan dan tidak menyebabkan kanker paru paru, bronkitis dan lain lain, padahal apapun yang disebut inhalasi baik elektrik atau pemanasan akan menganggu respirasi dalam tubuh,” pungkas dr. Alex.